Gaduh-Gaduh: Royalti dan Kesadaran
16 April
Kolase oleh Adrian Surya; Tata huruf oleh Ikrar Waskitarana; Ragam huruf Punk Kid oleh Chris Hansen |
Pada 30 Maret 2021 lalu, pemerintah resmi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Tak ada hal berarti yang seketika terjadi di hari itu, tetapi siapa sangka, yang datang menggulung 6 hari setelahnya adalah sebuah kekacauan dengan twit dari Detikcom sebagai pemicunya.
Tak ada opini menyudutkan yang dibekalkan di sana, sebab twit tersebut memang semata dimaksudkan hanya sebagai sebuah pemberitaan. Walaupun begitu, twit ini sukses meledak dan memecah tanggapan yang muncul menjadi beberapa blok. Jika disederhanakan, ada tiga sisi yang tampak darinya: mendukung, mencela, atau secara cerdik menelaah kemungkinan untuk mengambil opsi surogat.
Sekarang coba tebak peran apa yang memilih sisi mana. Jawabannya, semua tak semudah itu digolongkan. Jadi, mari kita tilik tiap blok satu persatu.
Walaupun bukan berarti semua, blok pendukung umumnya diisi oleh para musisi dan seabrek personel tak kasat mata yang turut mensukseskan karya mereka. Tak perlu tanya alasannya. Bayangkan saja mimpi terbesarmu secara seketika mulai menampakkan salah satu pertanda—catat, pertanda—bahwa ia akan mulai terwujud.
Mengapa hanya pertanda? Coba tilik lebih lanjut rincian yang tertera di dalam PP tersebut. Tepat sekali, tak terlalu jelas, sebab semua yang tertulis masih berupa sebuah kerangka dasar belaka. Tapi, indikasi positif yang dimuat di dalamnya setidaknya sudah memicu rasa sukacita.
Sebentar, jika ini merupakan sebuah kabar gembira, lantas siapa yang akan tak senang hati? Jika yang muncul di pikiran kalian adalah calon pihak tertagih, kalian—sampai saat ini—salah. Tak diduga-duga, cercaan yang muncul pertama kali justru berasal dari masyarakat umum. Lho, memangnya apa dampak yang akan mereka rasakan? Tentu, tepat sekali. Hampir tak ada. Apalagi jika yang dilakukan hanyalah hal sepele seperti memutarkan Spotify untuk diri sendiri ataupun bernyanyi bebas di kamar mandi.
Gambar 1. Kiriman nirfaedah @irzanhakim di Twitter |
Apa yang terlihat di sana merupakan sebuah indikasi bahwa kritisasi kebijakan pemerintah belum benar-benar dilakukan secara cermat. Beberapa tanggapan pedas yang nampak asal dilayangkan pun bermunculan. Hal ini lantas menjadi biang dari sebuah perkara yang lain: cederanya hati para musisi alih-alih terevaluasinya kinerja pemerintah.
Bagaimanapun juga, tak semua hal melulu biner. Semua rute hampir pasti memiliki jalur alternatif, entah seberapa menantang ia harus ditempuh. Bab yang ini pun tak luput dari keadaan tersebut.
Banyak pilihan cara lain yang bisa dilancarkan oleh pihak-pihak yang benar-benar tak ingin berepot-repot ria menyenggol jalur legal. Misalnya, melantangkan lagu-lagu yang telah menjadi domain publik ataupun tembang-tembang yang dirilis di bawah lisensi creative commons. Lagipula, tak semua musisi mewajibkan pemutaran tembang mereka mengambil rupa sebagai sebuah transaksi ekonomi. Julian Jacob, misalnya—kini twitnya sudah dihapus.
Penjelasan
Apapun itu, hak adalah sesuatu yang harus—kecuali kalau memang secara sukarela tidak menuntut—dipenuhi. Tak bernilai bagi sebagian bukan berarti tak bernilai bagi sebagian yang lain. Jika seorang musisi rela menukarkan produk dari jerih payahnya mengais batin dan merogoh tabungan hanya dengan kemungkinan untuk dikenal luas secara cuma-cuma—atau justru turut mengucurkan dana guna menyokong terwujudnya hal ini—bukan berarti tak ada yang terpaksa melepas gitar kesayangan mereka hanya untuk kembali melanjutkan hidup secara layak setelah mendapati album yang direkam kemarin sukses merugi. Yang satu mampu beli jet pribadi, yang lain mungkin harus jual pengki.Lalu, sebenarnya, apa saja langkah yang harus dilalui supaya musisi dapat menikmati pemenuhan salah satu hak mereka ini? Mari tilik Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 ini secara lebih seksama.
Sesuai dengan skema yang dapat disimpulkan setelah mengkaji beberapa pasal yang dimuat, terdapat dua buah tahap utama yang harus dilalui guna mensukseskan pelaksanaan pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik, yakni: 1. pencatatan lagu dan/atau musik (bab II), 2. pengelolaan royalti (bab III).
Bagaimana caranya agar hak ekonomi dari kepemilikan sebuah ciptaan dapat diklaim? Sebagai salah satu langkah yang harus diambil, pencipta/pemegang hak cipta harus mengajukan permohonan agar ciptaan mereka dicatatkan dalam Daftar Ciptaan Umum. Daftar ini akan menjadi acuan untuk Pusat Data Lagu dan/atau Musik. Pusat Data ini akan dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan digunakan oleh LMKN dalam kegiatan penghimpunan royalti.
Selain mengajukan permohonan tersebut, para pencipta/pemegang hak cipta sebaiknya—alasannya akan dibahas lebih lanjut dalam paragraf yang menyusul—terlebih dahulu mendaftarkan diri mereka untuk menjadi anggota dari sebuah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)—badan hukum nirlaba. LMK berikutnya akan menjadi perantara bagi anggotanya dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)—lembaga bantu pemerintah.
Lantas, apa peran LMKN? Lembaga berikut akan bertindak sebagai perantara antara LMK dan Pengguna—radio, TV, hotel, dll. Tugas dari LMKN adalah menangani pengajuan permohonan lisensi pun mengelola royalti yang telah dikumpulkan dari Pengguna.
Setelah mendapatkan lisensi, Pengguna wajib membayar lagu dan/atau musik yang mereka gunakan. Rincian mengenai tarif royalti berdasarkan bergam bentuk usaha dapat disimak lebih lanjut dalam keputusan LMKN tentang tarif royalti yang ditetapkan pada tahun 2016.
Gambar 2. Diagram alir hubungan antara Pengguna, LMKN, dan LMK menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (dok. DJKI) |
Sayangnya, jika tarif royalti benar-benar didasarkan pada keputusan tersebut, terdapat kemungkinan bahwa beberapa pelaku usaha bisa saja akan melayangkan rasa keberatan lantaran besaran yang telah ditetapkan dinilai tak sepadan. Walaupun begitu, menurut pasal 11 yang termuat dalam PP No. 56 Tahun 2021, keringanan tarif royalti dapat diberikan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah.
Royalti yang telah dihimpun selanjutnya akan dikelola oleh LMKN. Selain didistribusikan kepada pencipta/pemegang hak cipta yang telah menjadi anggota LMK—perhatikan, anggota LMK—sebagian dari royalti tersebut juga dapat digunakan oleh LMKN sebagai dana operasional dan dana cadangan.
Sebentar, lalu bagaimana nasib pencipta/pemegang hak cipta yang belum mendaftarkan diri mereka sebagai anggota LMK? Kemana porsi mereka akan bermuara? Jawabannya tertera dalam pasal 15 dari PP No. 56 Tahun 2021: bergabung menjadi anggota LMK untuk mengklaim hak tersebut atau biarkan ia berakhir sebagai dana cadangan LMKN.
Pastinya timbul pertanyaan, apakah skema alur ini dapat terlaksana dengan baik tanpa campur tangan oknum-oknum yang culas? Ada dua hal yang dapat kita antisipasi.
Pertama, PP No. 56 Tahun 2021 mengamanahkan pembuatan sebuah sistem terintegrasi bernama Sistem Informasi Musik dan/atau Lagu (SILM). SILM berfungsi sebagai pencatat penggunaan musik dan/atau lagu yang transparan dan akan digunakan sebagai acuan untuk mendistribusi lagu. Sehingga tidak dapat dicurangi laporannya.
Kedua, LMKN dan para LMK sepakat untuk menerapkan kebijakan satu pintu, yakni memusatkan kewenangan untuk turun dan menghimpun royalti hanya kepada satu pihak: Koordinator Pengumpulan, Penghimpunan, dan Pendistribusian Royalti (KP3R), sebuah komando dibawah LMKN. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga integritas garda terdepan penarikan royalti dan memudahkan Pengguna.
Renungan
Jejak menunjukkan bahwa pada tahun 2020 saja, tentunya sebelum PP No. 56 Tahun 2021 terdengar, KCI telah melaksanakan tugasnya sebagai LMK dengan cukup baik. Pada tahun yang sama pun Prisindo telah melakukan hal serupa dan menunjukkan keberadaan pengakuan hak pertunjukan (performing rights). Bahkan, ketentuan besaran tarif royalti pun telah muncul pada tahun 2016. Mundur lebih jauh lagi dan kita akan mentok dihadapkan pada tahun 1982, saat UU No. 6 tentang Hak Cipta menampakkan dirinya. Jika yang ditilik adalah Amerika, tahun 1909 merupakan titik kulminasi dari hak cipta dengan pertikaian panjang mengenai legalitas gulungan piano (piano roll) sebagai sebabnya.Gambar 3. Gulungan Piano (dok. Wikipedia) |
Walaupun begitu, memangnya sudah seluas apa permasalahan ini dipahami, baik oleh musisi maupun oleh masyarakat luas? Apakah mereka sadar bahwa musik, selain sebagai kesenian dan sarana meluapkan ego, berjalan di dalam tatanan industri?
Lantas, apakah ribut-ribut kemarin itu perlu terjadi? Menariknya, dengan menilik paragraf sebelumnya, jawabannya adalah perlu. Ia menjadi ajang mendadak yang menggedor—kalau bukan mengetuk—kesadaran semua insan yang menikmati musik—baik saat menciptakan, memutarkan, mempertunjukkan, maupun mendengarkan—dengan tujuan apapun bahwa permasalahan yang satu ini terlalu lama enggan dikoar-koarkan, hingga akhirnya konsumen dan bahkan produsennya hampir-hampir buta mengenainya.
Sekarang, bukankah ini menjadi kesempatan yang menarik bagi musisi, baik yang dinaungi oleh label maupun—terutama—yang berjalan di arus pinggir untuk berpikir lebih jauh dan mulai membenahi persoalan kepemilikan ciptaan mereka? Sekarang, pula, bukankah ini menjadi kesempatan yang baik untuk menanamkan kesadaran bahwa musisi juga berhak mendapatkan manfaat ekonomi dari ciptaan mereka, alih-alih mendapatkan tuduhan mata duitan? Apalagi jika ciptaan mereka memang dilibatkan dalam keberhasilan suatu ruang komersil, baik sebagai sajian primer maupun hanya sebagai pembangun suasana.
Walaupun begitu, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ini memanglah bukan sesuatu yang langsung tampak dalam bentuk yang paling sempurna. Susulan peraturan turunan yang benar-benar rinci perlu dinanti sebagai bahan tolok ukur dari evaluasi lanjutan. Selebihnya, untuk benar-benar dapat membawa manfaat, suatu peraturan tentu harus dikawal oleh pihak-pihak yang terlibat dan terdampak. Meskipun begitu, paling tidak, kerangka yang termuat di dalamnya tak sepihak dan semengecewakan RUU Permusikan yang tunggang-langgang itu. Lebih dari itu, peraturan anyar ini mungkin dapat berfungsi selayaknya tombol reset bagi hubungan emosional antara musisi dan pemerintah.
— Ditulis dan disunting oleh Adrian Surya dan Shadia Kansha
Kami menelaah PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dan memutuskan apakah ribut-ribut kemarin perlu terjadi.
0 comments