Rilisan Memukau: 2020
29 Desember
Sampul oleh Ikrar Waskitarana |
2020 adalah tahun yang busuk. Selepas mengendap-endap secara perlahan ia berakhir menampakkan dirinya dalam rupa yang paling licik—semoga: serangkaian judi sintas-menyintas yang terpaksa dijumpai di setiap sudut pergulatan menghidupi hidup.
Seluruh angan-angan luruh. Kartu pers yang hanya berlaku khusus untuk tahun ini hampir tak nyata gunanya, sebab peliputan tak mungkin dilakukan selewat triwulan pertama. Tiket prajual yang telah dikantongi ludes digerogoti waktu, sebab pengembalian dana tak dibuat mudah atau bahkan tak dibuat mungkin. Tanda tangan dan meterai pada nota kesepahaman terbuang sia-sia, nampaknya, sebab penundaan pertunjukan tak menampakkan tanda akan berakhir. Masih ada lagi yang ingin disayangkan? Rencana untuk lebih jauh terlibat di belakang panggung? Ah, yang benar saja.
2020 adalah tahun yang busuk, terutama bagi kami dan mungkin kalian yang hidup untuk dan dari musik. Namun, sial, untungnya tak semuanya turut menurut untuk sama-sama membusuk. Di tengah kelam atmosfernya, beberapa musisi dengan mantapnya tetap memilih untuk melahirkan karya cemerlang mereka di tahun yang berengsek ini—beberapa di antaranya bahkan terlahir darinya. Lalu, apa lagi yang bisa dilakukan selain bersama-sama merayakannya sembari mengutuk 2020?
1. Losing Fight — Lost In Colour
Penggunaan selimut shoegaze pada musik yang utamanya bergaya post-hardcore memang tak lagi dapat digolongkan sebagai sebuah inovasi yang cerdas, apalagi jika kekecewaan mendalam lagi-lagi disorot sebagai liriknya. Namun, apakah selamanya pesona datang dari pembaharuan? Tentu tidak. Memberikan sajian terbaik di antara lingkungan banal nan homogen pun merupakan salah satu cara untuk menjadi cemerlang.Walaupun ketidaksempurnaan tata bahasa yang digunakan dalam liriknya tak dapat dengan mudah diabaikan, Losing Fight berhasil menyajikan perasaan hilang harapan ke dalam babak-babak penguras emosi yang menarik—bagian awalnya merupakan teman meluluhlantak; bagian finalnya merupakan teman membangun diri—dalam tata suara abrasif nan berkabut yang cukup baik.
Sayang sekali, pada saat akhirnya disertakan di dalam senarai ini, keberlangsungan sang trio asal Kuningan sedang dalam keadaan yang kabur.
Nomor favorit: “Bloom”
2. Wednesday — I Was Trying to Describe You to Someone
Oplosan gaya musik khas Amerika Selatan dan bisingnya grunge sebenarnya telah mampu dengan mudahnya memukau, tetapi band yang awalnya hanya merupakan moniker Karly Hartzman seorang ini mengambil langkah nekat untuk menyelimuti paduan tersebut dengan kaidah khas shoegaze. Hasilnya, tiga buah permainan gitar—salah satunya merupakan gitar pangku—yang saling bersaut-sautan dalam sebagian besar nomor dari album ini menyajikan lapisan suara pendamping yang indah namun menyayat bagi kelokan-kelokan tajam vokal Karly.Nomor favorit: “November”
3. Rollfast — Garatuba
Tak ada seorangpun yang menuntut sebuah band untuk mencerminkan lingkungan asal mereka dalam gubahan yang mereka sajikan—kecuali mungkin pewawancara dari Backseat Mafia yang itu—tetapi kugiran asal Bali ini menempuh jalur nekat untuk memenuhinya. Sialnya, usaha keras mereka menyelipkan identitas budaya Pulau Dewata dalam akar musik yang mereka usung sedari awal membuahkan hasil yang kelewat ciamik. Katakan selamat tinggal pada rock psikedelik taat templat nan medioker dan sambutlah rock psikedeleak yang haus eksperimen.Nomor favorit: “Garatuba”
4. Mrs. Piss — Self-Surgery
Sekuel dari Hiss Spun merupakan hal yang patut dinanti. Tak ada alasan lain, selain gaya musik garang yang diusung oleh Chelsea Wolfe di album itu. Sialnya, saat Birth of Violence akhirnya dilepas, tak ada pertanda bahwa sang dewi gotik akan memberikan suguhan yang serupa. Namun ternyata, tidak juga. Ia hanya memilih untuk membentuk sebuah entitas yang baru dari pribadi tersebut.Bersama dengan Jess Gowrie—pemain drum untuk proyek solonya serta kelompok musiknya saat remaja dahulu—Chelsea Wolfe menyajikan nomor-nomor yang justru sepenuhnya gahar. Paduan gaya musik punk, industrial, dan metal yang saling dilekatkan lantas dibaurkan dengan lirik yang urakan sekaligus, yah, tentu saja seram.
Nomor favorit: “Downer Surrounded by Uppers”
5. BAPAK — Miasma Tahun Asu
Di tangan Kareem, gaya musik tak ubahnya cairan—tak lagi kaku sekat-sekatnya. Hal tersebut merupakan suguhan yang paling menarik darinya, selain kelihaiannya dalam menyisipkan detail-detail sonik dalam tiap karya. Dimulai dengan monkshood dan moniker BAP., Kareem kini menggandeng Alfath, Bagas, dan Kevin guna memenuhi dahaganya terhadap penciptaan musik yang lebih organik sembari tentunya kembali unjuk kelihaian dalam menyusun musik secara dinamis.Nomor favorit: “Dogma Milenial Provinsi Yggdrasil”
6. Sajama Cut — Godsigma
Selayaknya baru saja akan mulai menonton sebuah serial televisi yang kini bahkan telah berada di pertengahan musim kesekiannya, perlu tekad yang benar-benar kuat untuk menyelami diskografi veteran rock indie berikut. Sayangnya, selama bertahun-tahun setelah pertama kali membaca nama mereka, tekad tersebut tak pernah kunjung datang, hingga akhirnya Godsigma menampakkan dirinya.Benar, pergantian kulit mereka—secara musikal—dalam tiap koleksi bukanlah hal yang mudah dicerna, tetapi tutur bahasa Indonesia nyentrik yang digunakan dalam album nomor lima ini menjadi gerbang yang seolah memberikan sambutan paling ramah.
Nomor favorit: “Terbaring di Pundak Pesawat, Termakan Api, Terlentang, Tersenyum”
Losing Fight — Lost In Colour; Wednesday — I Was Trying; Rollfast — Garatuba; Mrs. Piss — Self-Surgery; BAPAK — Miasma Tahun Asu; Sajama Cut — Godsigma
0 comments