Rekah — Berbagi Kamar (Ulasan)
23 September
Tiap sajak dan luapan sonik yang tersaji di dalam Berbagi Kamar mampu menjadi sarana bagi pelepasan beban batin.
… pula badai di benak
Pembukaan
Pertengahan 2017 silam, saat saya masih terlalu bersemangat untuk sesegera mungkin memiliki rilisan fisik yang tengah dan akan beredar—salah satunya karena khawatir nantinya harus menjadi korban dari oknum yang ingin mendapatkan keuntungan secara licik—saya terpacu untuk turut menjadi salah satu pembeli dalam sesi prapesan EP perdana Rekah yang dicetak ke dalam bentuk kaset. Hasrat tersebut sebenarnya tidak benar-benar buta, sebab pokok-pokok yang patut dikagumi dari musik mereka, baik secara sonik maupun lirikal, telah disampaikan oleh beberapa media. Namun, apa gunanya musik cemerlang jika saya bahkan tak merasa tertarik untuk menikmatinya? Kaset yang telah tiba dan dengan lengkap disertai poster pun alhasil hanya mengonggok selama berbulan-bulan, hingga akhirnya tahun berganti dan tumpukan koleksi telah melebihi daya tampung yang tersedia. Maka, yang terjadi berikutnya adalah sebuah keputusan yang akhirnya saya sesali beberapa waktu setelahnya: kaset tersebut saya jual, berikut dengan posternya.Gambar 1. Sampul Berbagi Kamar (dok. Bandcamp Rekah) |
Selepasnya, angka pada hitungan tahun lantas berganti menjadi 2019. Entah mana yang lebih dahulu pada saat tersebut—rasa kagum saya terhadap betapa pandainya mereka mencampuradukkan gaya musik yang terlambat ataukah terwakilinya rasa pilu mendalam yang tengah menyerang—namun sesuatu menyambar dan menggugah keingintahuan saya untuk menelisik lebih jauh muatan EP ini. Rupa-rupanya, Berbagi Kamar merupakan satu dari beberapa album yang kerap mampu menopang dan menyokong saya agar dapat kembali melangkah.
Pembedahan
Apakah yang sebenarnya dimaksud dari judul yang disematkan? Selayaknya tulisan yang tertera pada catatan kaki dari nomor bungsu, terdapat pertanda bahwa Berbagi Kamar memanglah sebuah kisah mengenai dua insan—dengan seseorang yang harus berjuang melawan topan dalam kepalanya sendiri sebagai narator sekaligus tokoh utama—yang mencoba hidup bersama dalam sebuah ruang. Namun, terdapat sebuah pemaknaan lain yang tebersit di benak saya: kamar merupakan ruang di kepala dan sang narator harus berusaha hidup berdampingan dengan sang topan. Yang terakhir, walaupun mungkin kurang tepat, adalah pemaknaan yang lebih saya sukai.Gambar 2. Catatan kaki dari "Belajar Tenggelam" (dok. pribadi) |
Berbagi Kamar dibuka oleh sajak yang dirapalkan Diedra Cavina dengan hanya beriringkan chorus gitar lembut. Pada tiap barisnya, kata-kata yang menyusul selalu menjadi peniada bagi kata-kata yang mengawalinya. Kumpulan kata tersebut cukup kuat mengejawantahkan kondisi mental sang narator—mungkin saja sebab pengalaman personal Tomo tersisip di dalamnya—hingga mampu memicu rasa iba. Ketika akhirnya hanya Faiz yang berteriak di antara gitar yang kini terdistorsi dan bertemankan ketukan drum rapat khas black metal, sebuah gambaran terpancar: sang narator tengah mengundang tokoh kedua untuk menghuni kamar yang tengah ia diami sembari turut menyaksikan kepayahannya.
Saat akhirnya sang tokoh kedua mengetuk pintu, “Mengeja Langit-Langit” bermula langsung dengan sisi agresifnya. Hentakan drum atraktif yang disebabkan oleh pemilihan birama tak lazim, berselang-seling ditemani oleh raungan post-rock kasar dan petikan math-rock; oleh teriakan Faiz maupun ucapannya. Perasaan gelisah yang ditutup oleh permintaan bantuan terselubung dalam liriknya ini agaknya cukup dapat menggambarkan serangan panik yang pernah dialami oleh Tomo.
Pada aksi ketiga, terdengar decitan pintu yang membuka. Kali ini “Seribu Tahun Lagi”lah yang menyambutnya, dengan ketukan drum Johan yang kembali merapat. Di saat-saat ingar-bingarnya reda, chorus gitar lembut kembali menyertai sajak yang kembali dilafalkan oleh Diedra sebelum akhirnya dilanjutkan oleh Tomo yang separuh mengerang. Jika menilik liriknya, nomor ini menyajikan pandangan yang paling positif. Akan sangat menyenangkan mendapatinya sebagai penawar dari seluruh rasa pahit nomor lain, namun sayangnya ia tidak ditempatkan sebagai penutup.
Tak lagi ada efek suara yang digunakan, “Tentang Badai dan Pagi Setelahnya” membuka dirinya dengan permainan gitar yang berakhir pada komposisi post-rock/shoegaze yang cenderung mulus, sebab tak memuat terlalu banyak ledakan. Formula ini sebenarnya dapat dengan baik berfungsi sebagai titik masuk bagi pendengar baru, tetapi jika didengar pada posisi ini dalam EP ini, “Tentang Badai dan Pagi Setelahnya” seakan tersembunyi di balik punggung keempat nomor lain.
Bagian terakhir mulai dimainkan saat “Belajar Tenggelam” menampakkan diri seraya mengobati perasaan tak terpuaskan yang ditinggalkan oleh nomor sebelumnya. Post-blackened jazzgaze—atau apapun istilah lain yang dapat dengan tepat menjadi rangkuman bagi ramuan gaya musik mereka—kembali dibunyikan dengan ganas guna menyertai erangan Faiz dan Tomo. Penerimaan atas kondisi psikologis yang kini melekat termuat secara kuat dalam liriknya, tetapi tetap saja, akan lebih baik jika rangkaian bencana ini ditutup dengan sorak-sorai optimis pada “Seribu Tahun Lagi”.
Saat akhirnya sang tokoh kedua mengetuk pintu, “Mengeja Langit-Langit” bermula langsung dengan sisi agresifnya. Hentakan drum atraktif yang disebabkan oleh pemilihan birama tak lazim, berselang-seling ditemani oleh raungan post-rock kasar dan petikan math-rock; oleh teriakan Faiz maupun ucapannya. Perasaan gelisah yang ditutup oleh permintaan bantuan terselubung dalam liriknya ini agaknya cukup dapat menggambarkan serangan panik yang pernah dialami oleh Tomo.
Pada aksi ketiga, terdengar decitan pintu yang membuka. Kali ini “Seribu Tahun Lagi”lah yang menyambutnya, dengan ketukan drum Johan yang kembali merapat. Di saat-saat ingar-bingarnya reda, chorus gitar lembut kembali menyertai sajak yang kembali dilafalkan oleh Diedra sebelum akhirnya dilanjutkan oleh Tomo yang separuh mengerang. Jika menilik liriknya, nomor ini menyajikan pandangan yang paling positif. Akan sangat menyenangkan mendapatinya sebagai penawar dari seluruh rasa pahit nomor lain, namun sayangnya ia tidak ditempatkan sebagai penutup.
Tak lagi ada efek suara yang digunakan, “Tentang Badai dan Pagi Setelahnya” membuka dirinya dengan permainan gitar yang berakhir pada komposisi post-rock/shoegaze yang cenderung mulus, sebab tak memuat terlalu banyak ledakan. Formula ini sebenarnya dapat dengan baik berfungsi sebagai titik masuk bagi pendengar baru, tetapi jika didengar pada posisi ini dalam EP ini, “Tentang Badai dan Pagi Setelahnya” seakan tersembunyi di balik punggung keempat nomor lain.
Bagian terakhir mulai dimainkan saat “Belajar Tenggelam” menampakkan diri seraya mengobati perasaan tak terpuaskan yang ditinggalkan oleh nomor sebelumnya. Post-blackened jazzgaze—atau apapun istilah lain yang dapat dengan tepat menjadi rangkuman bagi ramuan gaya musik mereka—kembali dibunyikan dengan ganas guna menyertai erangan Faiz dan Tomo. Penerimaan atas kondisi psikologis yang kini melekat termuat secara kuat dalam liriknya, tetapi tetap saja, akan lebih baik jika rangkaian bencana ini ditutup dengan sorak-sorai optimis pada “Seribu Tahun Lagi”.
0 comments