Aransemen Pamungkas paling Pamungkas (Jurnal Pertunjukan)
03 November
Gambar 1. Poster acara (dok. Komusikasi) |
Alig. Pukul 17.00, satu jam sebelum seharusnya tiba di venue, saya masih dalam perjalanan kembali ke kantor dan diperkirakan baru akan tiba satu setengah jam kemudian. Kondisi mendadak ini membuat saya cukup panik sebab saya seharusnya menemui Aliya, kontributor baru yang menawarkan diri menjadi fotografer pada malam tersebut murni karena hanya ingin mengambil foto Pamungkas dari dekat (ya, kepanjangan), terlebih dahulu guna memperkenalkan diri dan meminta izin untuk masuk ke sisi dalam barikade kepada panitia gelaran malam tersebut. Namun untungnya, selepas berunding via chat, Aliya yang tetap berangkat sesuai jadwal akhirnya memilih memberanikan diri untuk melakukannya seorang diri. Salut, karena ini kali pertamanya harus masuk bukan sebagai penonton.
Waktu saya perkirakan sedang berada pada pukul 20.00 saat saya akhirnya menyusul masuk guna menemui Aliya. Menemukan seseorang di area depan panggung yang masih dalam kondisi lengang seharusnya mudah, namun nampaknya tidak juga jika seseorang tersebut belum pernah ditemui secara langsung sama sekali. Tapi sih saya seharusnya nekat saja menyapa, sebab kalaupun salah, ada kemungkinan bahwa saya akan dapat kenalan baru.
Gambar 2. Penonton (dok. Aliya) |
Saat akhirnya saya bertemu dengan Aliya, Soegi Bornean nampaknya telah membawakan separuh setlist mereka pada malam tersebut, sebab seingat saya mereka hanya membawakan 4 buah lagu lagi setelahnya. Sebenarnya saya tak terlalu menggandrungi genre yang mereka usung, namun menonton mereka membawakan “Saturnus” dan “Asmalibrasi” secara langsung cukup membuat saya terkesan. Sayangnya, secara visual, pada malam tersebut seolah hanya Fanny yang menonjol, sebab ia tengah mengenakan pakaian dan beberapa aksesoris bunga yang memang sesuai dengan musik Soegi Bornean.
Gambar 3. Soegi Bornean (dok. Aliya) |
Selama panggung dipersiapkan untuk Neysa, penampil berikutnya, saya berkenalan lebih lanjut dengan Aliya. Rupanya kami pernah bertemu saat tur Pamungkas lalu, walaupun saya tidak ingat. Ikrar, yang pada malam tersebut saya mintai bantuan untuk menjadi fotografer, mungkin menjadi awal rasa penasarannya terhadap media ga niat ga jelas seenak udel ini. Perbincangan terus berlanjut hingga akhirnya saya harus menyangkal bahwa saya adalah kakak dari Ikrar dan memberikan fakta bahwa banyak selisih pada angka dalam umur kami guna menjawab pertanyaan lain. Al, yang terakhir merupakan sebuah topik perkenalan yang cukup sensitif dan sebaiknya ditanyakan setelah melalui pertimbangan yang cukup.
Gambar 4. Neysa (dok. Aliya) |
Panggung selanjutnya diserahkan kepada Neysa yang, baru saya ketahui saat berada di venue, ternyata merupakan salah seorang penerima tiket emas dari musim terbaru salah satu ajang pencarian bakat. Fakta tersebut membuat saya kemudian memiliki ekspektasi bahwa ia mungkin saja memiliki karakter suara yang unik. Namun nyatanya, penampilannya membawakan cover dari “Versace on The Floor” yang lazim dipilih hingga “lowkey” yang jarang dipilih — saya cukup menggemari NIKI — tak dapat memenuhi ekspektasi tersebut. Suara Neysa tentu saja indah dan bahkan mampu membuat salah satu teman Aliya menjadi antusias — bahkan terlalu antusias hingga membuat saya terheran-heran — untuk melakukan sing-along sepanjang cover “Mantan Terindah”, namun saya tak mendengar ada yang unik di sana. Sori sori, judging lagi.
Gambar 5. Teman Aliya (dok. Aliya) |
Selepas Nesya, maka yang tampil berikutnya adalah yang paling ditunggu oleh sebagian besar kerumunan pada malam tersebut. Aliya pun dengan sigap langsung bergerak tepat ke tengah dan menduduki salah satu pengeras suara dan kemudian disusul oleh saya. Sebuah catatan: menduduki pengeras suara yang berukuran cukup besar merupakan pengalaman yang menyenangkan, sebab suara kick drum yang dihasilkan seolah-olah mampu kicking-your-a*s. Kalimat sebelumnya sengaja diselipkan hanya untuk melempar kelakar tersebut. Sori sori.
Diiringi oleh riuh kerumunan pada malam tersebut, Pamungkas yang kali ini kembali muncul dengan mantel berwarna coklat langsung mengambil posisi duduk di depan keyboard-nya. Dengan wajah tertunduk yang ditutupi oleh rambut ikalnya, ia membuka penampilannya pada malam tersebut dengan “Modern Love”. Lagu ini kemudian disusul oleh “Sorry”, salah satu nomor populer dari Walk The Talk, yang tentu saja mengundang penonton pada malam tersebut untuk turut bernyanyi.
Gambar 6. Pamungkas (dok. Aliya) |
Selepas memainkan kedua lagu tersebut, Pamungkas pun mencoba menyelipkan sedikit intermezzo dengan mulai menyampaikan bahwa kriteria hari yang baik mulai berubah saat kita beranjak dewasa. Sebab, jika saat kecil dapat menonton kartun di hari Minggu mampu dikategorikan sebagai salah satu yang memenuhi kriteria tersebut, saat dewasa penentuannya bergantung kepada bagaimana hari tersebut ditutup. Intermezzo ini, tentunya, menjadikan lagu yang akan dibawakan setelahnya menjadi mudah ditebak.
Selepas “Nice Day”, Pamungkas melanjutkan penampilanya dengan membawakan “Kenangan Manis”, “Break It”, dan kemudian “I Love You, But I’m Letting Go”. Pamungkas jelas melakukan sedikit improvisasi di tiap lagu yang dibawakan secara langsung guna membuatnya lebih menarik, namun pada lagu yang disebut terakhir, ia seolah memadukan semua instrumen musik yang berada di atas panggung guna membuat lagu ini berubah menjadi megah sehingga mampu menarik perhatian walaupun ditempatkan di tengah.
Gambar 7. Pamungkas (dok. Aliya) |
Menurut informasi dari Hana yang kemudian turut dikonfirmasi oleh Aliya, “I Love You, But I’m Letting Go” yang ternyata memang dibawakan dalam aransemen baru pada malam pertama November tersebut merupakan hal yang spesial, sebab pekan lalu Semarang juga menjadi lokasi terakhir terdengarnya aransemen lama dari lagu tersebut. Selepas memperdengarkan aransemen yang mempesona tersebut, Pamungkas melanjutkan penampilannya dengan membawakan “Bottle Me Your Tears” dan “To The Bone” sebelum akhirnya kembali menampilkan kejutan berupa tarian yang lepas saat “Lover Stay” mulai memuncak.
Waktu rasanya berlalu dengan cukup cepat saat akhirnya Pamungkas memberi tanda bahwa penampilannya akan berakhir setelah memainkan dua buah lagu berikutnya dan tentu saja ia memilih untuk menempatkan lagu paling pamungkas (ya, betul, ini guyon) pada nomor paling bungsu. Oleh karena itu, “One Only” dipilih Pamungkas sebagai saat untuk menghimpun kekuatan sebelum akhirnya memainkan “Flying Solo” sembari berdiri dengan tangan terentang di atas kursi keyboard-nya, seakan ingin memberikan gambaran paling nyata dari lirik dari lagu utama album keduanya tersebut.
Gambar 8. Pamungkas (dok. Adrian) |
Sesuai dengan janjinya, dimulai tepat pada hari pertama November tersebut, Pamungkas mulai memberanikan diri untuk lebih banyak memainkan nomor-nomor Flying Solo dan mengurangi porsi untuk nomor-nomor Walk The Talk. Semua nomor tersebut, menariknya terdengar lebih memikat saat dibawakan secara langsung, terlebih lagi berkat aransemen berbeda yang diterapkan pada beberapa nomor lama. Baik, saya mungkin tetap bukan pendengar setia lagu-lagu Pamungkas, namun aksi panggung dan keseluruhan penampilannya selalu berhasil membuat saya terpukau.
0 comments