Atraksi Cemerlang Para Gajah (Jurnal Pertunjukan)
22 November
Gambar 1. Poster acara (dok. Aerotion) |
Malam itu, saat saya sampai di venue, panggung tengah kosong sebab memang tak ada penampil yang dijadwalkan mengisi lini waktu tersebut. Sembari menunggu aksi berikutnya, saya yang menghabiskan beberapa menit seorang diri memilih untuk memperhatikan keadaan sekitar. Tak ada yang menarik dari gerombolan-gerombolan kecil yang terbentuk dan tersebar di sana, hingga akhirnya saya tak sengaja mendengar kata “kawaii” diucapkan dalam salah satu obrolan yang sedang berlangsung. Munculnya kata tersebut pada akhirnya membuat saya menyadari bahwa gelaran malam tersebut bertempat pada lokasi yang sama dengan sebuah gelaran jejepangan yang rutin diadakan tiap tahun.
Gambar 2. Venue (dok. pribadi) |
Puluhan menit telah berlalu saat saya akhirnya berkumpul dengan beberapa wajah yang cukup familiar. Sebagian dari mereka yang kembali dijumpai secara tak sengaja lantas mengundang sedikit rasa geli di hati, sebab saya hampir dapat memastikan akan berjumpa kembali dengan mereka dalam gelaran-gelaran selanjutnya. Seingat saya, kami selanjutnya asik membicarakan beberapa hal penting tak penting terkait musik, hingga akhirnya perut memberikan tanda bahwa ia harus diisi dan kami pun membagi diri ke dalam tim ayam cincang goreng tepung dan tim kebab. Walaupun tak direncanakan, kedua tim ini nantinya akan tetap terpisah sampai gelaran malam tersebut berakhir.
Gambar 3. Sore Tenggelam (dok. Aliya) |
Waktu pun telah sampai pada pukul 20.00, kurang atau lebih, saat Sore Tenggelam mulai berada di atas panggung. Saya yang tergabung dalam tim ayam cincang goreng tepung memilih untuk menikmati menit-menit awal pertunjukan beliau dari kejauhan. Hal ini dilakukan bukan karena kami tak terlalu menggemari beliau, namun hujan yang saat itu telah digantikan oleh gerimis membuat kami lebih memilih untuk menikmati dua buah kursi yang dipinjam tanpa ijin di bawah naungan pohon.
Gambar 4. Sore Tenggelam (dok. Aliya) |
Selepas cuaca benar-benar kembali mendukung, tim ayam cincang goreng tepung memutuskan untuk menuju ke area depan panggung guna melihat aksi Sore Tenggelam secara lebih seksama. Menyaksikan beliau dari jarak sedekat itu kemudian membuat saya tersadar bahwa semua suara yang ada dihasilkan dengan mengandalkan pedal looper, alih-alih playback. Hal ini, ditambah dengan harmonika yang dikenakan dengan bantuan holder, lantas membuat saya cukup kagum meskipun tetap saja tak terlalu menggemari genre musik yang ia bawakan.
Gambar 5. Alfredo dari Pijar (dok. Aliya) |
Waktu menunjukkan sekitar pukul 21.00 saat akhirnya panggung diberikan kepada Pijar. Saya tak lagi giat mengikuti perkembangan mereka, namun EP Ekstase pernah membuat saya meluangkan waktu guna menyaksikan mereka secara langsung. Pertunjukan mereka kala itu dipenuhi dengan energi dan saya pun merasa senang saat mereka kembali menampilkan hal tersebut.
Gambar 6. Ican dari Pijar (dok. Aliya) |
Pijar membawakan beberapa lagu baru—setidaknya dirilis dalam tahun ini—pada malam tersebut. Selain tentunya “Antologi Rasa” yang cukup mengangkat nama mereka, beberapa lagu baru yang saya maksud adalah “Filantropi”, “Perspektif Ketiga”,”Menjilat Matahari”, dan “Lunar Biru”. Dua lagu yang saya sebutkan terakhir cukup menarik dan meninggalkan kesan bagi saya, sebab “Menjilat Matahari” diperkenalkan secara menggelitik sebagai sebuah anthem bagi para jomblo yang haus jamahan oleh Alfredo, sedangkan “Lunar Biru” dibawakan secara menarik berkat hadirnya gerakan hadap kanan-hadap kiri konstan Ican yang pada malam tersebut tampil nyentrik dengan celana olahraga pendek.
Gambar 7. Fans hardcore Pijar (dok. Aliya) |
Meskipun beberapa lagu baru yang dibawakan oleh Pijar disambut dengan baik, namun lagu-lagu lawas semacam “Moon River” dan nomor-nomor dalam EP Ekstase tetap menjadi penggugah keriuhan yang paling efektif. Bukan hanya karena saya memang menantikannya, melainkan juga karena lagu-lagu lawas tersebut nampaknya telah lebih lama membekas di ingatan orang-orang yang berada dalam kerumunan malam tersebut. Keriuhan yang terjadi mencapai puncaknya saat tak hanya nyanyian bersama dan tarian yang terundang oleh aksi mereka, melainkan juga seruan-seruan dari seorang mas-mas dengan tingkat histeria yang cukup mengundang rasa heran.
Gambar 8. Bam Mastro dari Elephant Kind (dok. Aliya) |
Selepas Pijar, maka panggung diserahkan kepada Elephant Kind. Band ini pun akan saya tonton kedua kalinya pada malam tersebut, sehingga saya kembali hanya bermaksud menikmati penampilan mereka tanpa ekspektasi apapun. Walaupun begitu, mengetahui bahwa Kevin tak melengkapi formasi Elephant Kind pada malam tersebut membuat saya sedikit kecewa. Namun tak apa, sebab mendapati posisinya digantikan oleh Dias dari Glaskaca menjadi hal lain yang juga menarik.
Gambar 9. Bam Mastro dari Elephant Kind (dok. Aliya) |
Malam itu, Elephant Kind memilih “Montage” sebagai lagu yang membuka penampilan mereka. Menggaungnya suara synthesizer dalam bagian intro lagu ini seketika disambut oleh kerumunan pada malam tersebut dengan ayunan tangan ke depan seolah menyembah. Gerakan tersebut nampaknya memang kerap dilakukan saat “Montage” dikumandangkan, tetapi saya tidak pernah tahu pasti kenapa.
Gambar 10. Bam Mastro dari Elephant Kind (dok. Aliya) |
Seusai “Montage” yang kemudian disusul oleh “With Grace”, aksi Bam Mastro yang berlari kesana kemari seolah menjelajahi panggung saat membawakan “Pleaser” kembali memicu terjadinya dansa-dansa liar di dalam kerumunan. Suasana riang yang kemudian berlanjut dalam “Oh Well” tersebut akhirnya harus berubah menjadi muram saat nomor nomor sedih semacam “I Belive In You” dan “Sour” dialunkan.
Gambar 11. Bam Mastro dari Elephant Kind (dok. Aliya) |
“True Love” secara baik digunakan sebagai jembatan peralihan mood, sebelum akhirnya Elephant Kind kembali menghadirkan nuansa positif melalui “Beat The Ordinary” dan“Better Days”, dua nomor yang menutup penampilan mereka pada malam tersebut. Pemilihan “Better Days” sebagai nomor pamungkas sepertinya merupakan langkah yang tepat, sebab di dalamnya terdapat aksi-aksi mengejutkan yang diselipkan oleh Elephant Kind, khususnya oleh Bayu yang selain menyelipkan solo drum memukau juga memutuskan untuk duduk di bagian depan panggung dan menyanyikan verse Heidi bersama dengan penonton. Sayangnya, walaupun dibawakan dengan cukup atraktif, tak diumumkannya “Better Days” sebagai lagu penutup meninggalkan saya dalam keadaan bingung saat akhirnya menyadari bahwa gelaran malam tersebut telah mencapai ujungnya.
0 comments