Regenerate (Jurnal Pertunjukan)

11 November

regenerate
adjective | re·gen·er·ate | \ -rət \
 formed or created again

The Dawn

Ah, sial. Sekitar 18.45 dan listrik di rumah padam. Saya tengok di sekitar rumah juga gelap gulita. Maka saya mempercepat agenda saya untuk berangkat ke salah satu event clothing expo dengan tujuan hanya untuk menonton Scaller. Tanpa berbelanja. Hal lain apa yang Anda harapkan?

Dengan berbekal senter yang nyala-mati saya mulai bersiap untuk berangkat. Handphone? Cek. Dompet? Cek. Kunci rumah? Dimana kunci rumah? Sepertinya tadi sudah saya persiapkan. Kalang kabut mencari sesuatu. Buruk. Kalang kabut mencari sesuatu di tengah gelap. Lebih buruk. Dan untungnya keaddan itu tidak bertahan lama karena saya menemukannya DI TEMPATNYA SEHARUSNYA BERADA. Kerja bagus, Adrian!

Navigateur

Google Maps. Jangan terlalu percaya dengan direksi yang diberikan olehnya. Terkadang jalan yang disebutkan adalah jalan kecil sepi mendaki bukit. Terlebih, akan sulit untuk terus memantau Google Maps jika Anda mengendarai roda dua. Teman baru saya yang nantinya baru akan saya jumpai akan sangat setuju.

Insting. Hal kedua yang tidak bisa sepenuhnya Anda andalkan. Anda dapat berakhir di kondangan orang jika hanya mengikuti arus yang ramai.

Insting yang dipadukan dengan Google Maps akan mengarah kepada dua kemungkinan. Satu, jika insting anda lebih banyak porsinya, anda dapat berkelana kembali ke titik awal. Dua, jika anda mau mengalahkan rasa sok tau Anda dan dapat berhenti di tiap persimpangan untuk cek Google Maps, maka Anda akan terantarkan ke tujuan Anda. Mana yang saya pilih? Dua. Pastinya. Tapi setelah mencoba satu.

Prelude

Sesampainya di venue saya langsung bergegas ke area di depan panggung. Clandestine masih tampil di atas panggung. Mereka sempat bilang begini, “Kami memang beda, ga cepat, ga lambat. Kami hanya ingin menganggukkan kepala.” Namun dalam hati saya membalas, “Ya iyalah. Kalian kan mainin stoner rock.” Selain itu yang tampil berikutnya adalah Octopuz yang notabene sejalan.

Saat Octopuz main, saya tertarik untuk melangkah ke depan panggung. Satu, sang gitaris dalah salah satu pemilik record store yang disegani di Semarang dan dua, saya sudah lama dengar nama mereka, tapi belum pernah berkesempatan mendengarkan materi mereka.

Sebenarnya materi mereka cukup menarik, tapi saya terhalang oleh sound yang saya rasa menumpuk. Entah ini karena efek reverb yang dihasilkan oleh ruangan atau karena telinga saya yang mulai tersumbat karena akan flu. Setelah Octopuz tuntas perform, semua mundur dari depan panggung, meninggalkan saya dan seorang lagi yang tiba-tiba nyeletuk,

“Kok sepi ya? Apa pada gatau Scaller? Semarang taunya Barasuara tokmungkin, ya?” Saya jawab, “Mungkin.” Dia heran, “Loh Masnya bukan asli Semarang to?” Saya jawab, “Bukan, Mas. Saya dari Ungaran” Dia dengan semangat berkata, “Aku juga dari Ungaran.” Dan setelah itu saya tahu bahwa dia bersekolah di SMA yang sama dengan saya. Lulus pada tahun 2017. Dia tau musik-musik underrated. Saya senang. Dia berangkat sendiri, hanya untuk menonton Scaller. Saya jadi teringat dengan diri saya sendiri. Saya lebih senang. Dia bertanya apakah saya kenal si A, si B, si Z, dan saya jawab tidak. Minat sosialnya lebih tinggi dari saya. Saya sangat senang.

Sebelum Scaller naik panggung, rambut gondrong saya menarik perhatian host. Dia tanya penampilan siapa yang saya tunggu, saya jawab Scaller. Dia tanya kenapa saya suka Scaller, saya jawab karena mereka membawakan rock alternatif 2000-an. Sok tau emang, tapi itu kesan saya saat dulu mendengarkan “Live and Do”.

The Show

Saya bahagia sekaligus sedih melihat crowd yang ga crowded. Terasa lebih intim, tetapi sedih karena mungkin pendapat teman saya tadi ada benarnya.

Reney mulai naik ke atas panggung. Yang heboh hanya teman sebelah saya. Ga, dia cowok. Disusul Stella dan kehebohan penonton. Jangan salahkan ingatan saya yang lemah, tapi sepertinya mereka mulai menghajar dengan “Senses”. Stella mulai melakukan headbang konstan, tepat seperti yang selalu saya lihat pada penampilan live mereka yang saya lihat melalui Youtube. Saya pun terpicu untuk mengikuti headbang Stella, walaupun strukutur dan ritme lagu mereka tidak mudah untuk diikuti.

Selanjutnya lagu-lagu lain dari Senses mulai dibawakan satu per satu. Saya ingat Stella meminta penonton menebak judul satu-satunya lagu instrumental dalam Senses, “Upheaval”. Saya ingat “Move in Silence” yang naik-turun seenak jidat. Dan, selain lagu-lagu dalam Senses, mereka juga mebawakan lagu dari EP mereka, 1991. Ada “Live and Do” yang membawa penonton untuk sing along. Ada “Stay on The Track” atau kalau menurut Stella, “Tetap di jalan yang benar.”

Gambar 1. Scaller saat perform (dok. dananglfc di Instagram)

Mereka menutup dengan “A Song” dan “The Youth”, dua lagu pamungkas dari Senses. Sangat puas akhirnya bisa menonton mereka live untuk pertama kali. Saya selalu penasaran sama aksi panggung Stella. Sayang, sound-nya masih terdengar menumpuk bagi telinga saya.

Epilogue

Saat Scaller turun panggung, teman saya ini tidak lekas pergi. Dia menunggu kru datang untuk turut berebut setlist. Gilak. Saya baru tahu kalau caranya seperti itu.

Baca Pula

0 comments