Bin Idris — Anjing Tua (Ulasan)
17 November
Album kedua dari Bin Idris ini lagi-lagi menjadi sebuah album yang istimewa meskipun disampaikan melalui komposisi yang sederhana
Album kedua dari Bin Idris ini pertama kali saya dengarkan melalui laman Tirto. Dibuat dalam suasana Ramadhan dan saya dengarkan pula di dalamnya, membuat saya menjadi dengan mudah terbawa. Hal ini nampaknya didukung pula oleh keadaan di mana untuk pertama kalinya saya harus menghabiskan sebagian besar waktu berpuasa saya menjadi seorang karyawan, sehingga beberapa tema yang diangkat memang terasa relevan.
![]() |
Gambar 1. Kover Anjing Tua |
Meskipun disebut sebagai album, Bin Idris hanya menulis memuat 7 nomor untuk dimuat ke dalam Anjing Tua. Ketujuh nomor ini ditengarai hanya ditulis karena dilatarbelakangi oleh sebuah alasan sederhana: sebuah gitar akustik baru. Gitar akustik ini pada akhirnya dijadikan sebagai sajian utama dalam sebagian besar porsi album Anjing Tua.
Album ini dibuka oleh track yang berjudul sama. “Anjing Tua” adalah sebuah track yang bercerita melalui sudut pandang penderita dalam peribahasa “habis manis, sepah dibuang”. Mendengarkan liriknya, entah kenapa membuat saya membayangkan masa tua seorang pensiunan karyawan swasta. Mengabdi selama bertahun-tahun namun akhirnya terlunta-lunta di masa tua.
Lain halnya dengan track sebelumnya, “Anak Panah” seolah-olah menceritakan awal mula dari perjalanan sang pensiunan, yaitu masa-masanya mulai merantau demi mencari pekerjaan. Lirik lagu ini memuncak pada sebuah frasa optimis-realis: “Akan terjejak-jejak segala cara, akan berdetak hingga retak”.
Track ketiga, “Hari Sudah Petang” menyambut dengan menggunakan tema petang. Alih-alih untuk dinikmati berteman secangkir minuman hangat, pada nomor ini petang dipandang sebagai sebuah saat dimana seorang karyawan akhirnya dapat kembali beristirahat melepas penat. Dengarkan track ini di kala sore di hari kerja, niscaya sisa waktu kerja Anda akan dihabiskan hanya untuk membayangkan waktu pulang yang tiba-tiba terasa tak kunjung datang.
Keluar dari lanskap kehidupan sebagai karyawan, “Rukun Warga” tiba-tiba mengangkat kehidupan sosial sebagai temanya. Melalui nomor ini, Bin Idris mengingatkan kita bahwa pada hakikatnya kita semua menginjak bumi yang sama, sehingga alangkah baiknya jika kita dapat hidup damai dan saling selaras. Bijaknya petuah beliau dalam lirik lagu ini menyiratkan bahwa mungkin sosok seperti beliaulah yang pantas dicalonkan menjadi seorang ketua rukun warga (?).
![]() |
Gambar 2. Bin Idris sang ketua RW idaman |
“Tenggelam” pada nomor keenam merupakan lagu paling menarik dari album ini, baik bagi pendengar maupun bagi penulisnya sendiri. Lagu ini hanya berisikan senandung Haikal Azizi tanpa diiringi oleh instrumen apapun. Senandung ini kian lama memudar dan menghantarkan kita pada track penutup yang apik.
“Raya” yang ditempatkan sebagai penutup agaknya memang merupakan pilihan yang tepat, karena temanya merepresentasikan puncak dari tema utama album ini. Uniknya, selain sebagai hari puncak umat muslim untuk merayakan kemenangan, hari raya pada lagu ini juga dipandang sesuai dengan makna literalnya, yaitu sebagai waktu untuk melebur kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan. Terlebih, melalui detail-detail yang ditangkap, gambaran akan suasana hari raya dapat ditampilkan dengan semakin baik. Hal yang tak kalah menarik dari nomor ini adalah outro-nya yang memiliki atmosfer yang serupa dengan “Laylat Al Qadr”.
![]() |
Gambar 3. Kaset Anjing Tua (Dok. pribadi) |
・・・
Sila simak video musik “Pulang Kampung” di bawah.
0 comments